AGC Bahas Prosedur Izin PESK



(Humas AMAN Sulut)

MANADO, SulutSatu.com - Artisanal Gold Council (AGC) terus memberi perhatian pada Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK) di Sulawesi Utara (Sulut).
Bekerjasama dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Sulut, AGC melaksanakan salah satu programnya yaitu Program Emas Rakyat Sejahtera (PERS) di Sulawesi Utara.

Selain memperkenalkan teknologi pengolahan emas ramah lingkungan, AGC juga mengadvokasi masyarakat penambang di wilayah PESK.

Sebagai implementasi program tersebut, AGC memfasilitasi masyarakat penambang untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan terkait PESK. Berbagai kegiatan dilakukan. Salah satunya dengan menggelar workshop rutin tentang PESK.

Pada Kamis, 31 Januari 2019, AGC menggelar workshop bertajuk 'Prosedur Izin di Pertambangan Emas Skala Kecil".

Bertempat di Hotel Whiz Primer, AGC mengundang pihak terkait untuk hadir dalam kegiatan ini. Peserta yang hadir antara lain, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sulut serta perwakilan para penambang dari Tobongon dan Talawaan.

Rikson Karundeng, dari AMAN Sulut, selaku moderator menjelaskan latar kegiatan dilaksanakan.
"Salah satu hal yang menjadi masalah yang ditemukan AGC pada PESK di Sulut yaitu formalisasi. Oleh karena itu AGC bersama AMAN melakukan banyak hal terkait hal ini. Antara lain memberikan informasi tentang proses perizinan kepada masyarakat," ujar Karundeng.

Dalam kesempatan yang sama, ia juga menjelaskan dan memperkenalkan AGC beserta programnya di Sulut.

Dalam workshop prosedur izin PESK ini, para pihak terundang ikut menyampaikan materi.

Kepala Bidang Tata Lingkungan, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Utara, Tini Tawaang, SH, menyampaikan materi pertama. Ia menjelaskan soal mekanisme proses izin lingkungan.
"Setiap kegiatan harus diawali dengan proses izin lingkungan. Bagi yang tidak melakukan ini berarti kegiatannya ilegal," ucap Tawaang.

Ditambahkan Tawaang, instansinya bertugas melakukan pemberian rekomendasi teknis.
"Kami hanya memberikan rekomendasi teknis layak tidaknya suatu kegiatan dan selanjutnya diserahkan kepada dinas PTSP," tandasnya.

Dijelaskannya, proses mendapatkan izin lingkungan meliputi penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan UKL-UPL, Penilaian AMDAL dan pemeriksaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup-Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) serta Permohonan dan Penerbitan Izin Lingkungan.

Tawaang juga menambahkan, setelah mendapatkan izin lingkungan, penerima izin wajib menyampaikan pengumuman agar supaya masyarakat tahu dan bisa memberikan saran serta pendapat.

Theo Rompas, ST, ME, Kepala Bidang Mineral dan Batu Bara Dinas ESDM Sulut, turut menjelaskan soal proses pengurusan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
"Untuk IPR bermula dari WPR. WPR dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan hanya dikeluarkan oleh kementerian atas rekomendasi gubernur. Bisa saja rekomendasi Gubernur datang dari Bupati," jelas Rompas.

Ditambahkannya, IPR diurus sesudah ada WPR. Sementara IPR dikeluarkan untuk perorangan dengan luas 1 hektar, kelompok dengan luas 5 hektar dan koperasi dengan luas 10 hektar.
Rompas juga mengungkapkan bahwa di Sulut ada dua WPR yaitu di Tobongon dan Tatelu.

Di kesempatan bicaranya, ia mengungkapkan kesiapan Dinas ESDM membantu proses perizinan yang akan dilakukan oleh masyarakat.
"Pada prinsipnya Dinas ESDM akan membantu sebatas kewenangan kita," tutur Rompas.

Menurutnya ini sejalan dengan visi misi gubernur untuk mensejahterakan rakyat.
"Visi misi Pak Gubernur yaitu mensejahterakan rakyat dan tugas kita untuk memfasilitasi itu," ungkapnya.

Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yang diwakili Kepala Bidang Perizinan, Ir. Roy Terok menjelaskan proses pengurusan izin di instansinya.
Disampaikannya, sampai saat ini, dinasnya belum pernah menerbitkan IPR.

"Sampai dengan saat ini, IPR belum pernah diterbitkan oleh dinas Penamaan Modal dan PTSP," ujarnya.

Menurutnya ini terjadi karena berbagai kendala. Antara lain disebabkan oleh para pemohon izin yang tidak menindaklanjuti permohonan yang disampaikan.
"Ada banyak izin yang masuk tapi tidak ditindaklanjuti oleh pemohon," ungkapnya.

Dikatakan Terok, instansinya sudah menyiapkan loket untuk pelayanan untuk melayani masyarakat.

"Dinas penanaman modal dan PTSP, sudah ada kantor untuk pelayanan. Di sana sudah ada loket untuk melayani masyarakat," imbuhnya.

Terok menuturkan, pihaknya berusaha untuk membantu melayani secepatnya. Maka harus ada kerjasama antara pemohon dan petugas.
"Kalau permohonan lengkap, langsung diproses, kalau belum lengkap, dikembalian lagi," tandas Terok.

Diinformasikannya, waktu untuk mengurus perizinan berkas selama 5 sampai 7 hari, di luar waktu untuk mengecek lokasi.

Dituturkannya pula bahwa berdasarkan petunjuk Gubernur, IPR diurus lewat koperasi atau kelompok supaya mempermudah pengawasannya.

Yani Rembet, Kepala Bidang Pengendalian Dinas Penanaman Modal dan PTSP juga menjelaskan soal penindakan terhadap pelanggaaran. Menurutnya kalau para penambang yang sudah memiliki IPR menggunakan merkuri akan ditindak. Baik yang mengedarkan dan menggunakan akan ditangkap. Karena barang yang digunakan terlarang dan tidak diizinkan pemerintah.

Sementara, Koordinator di WPR Tobongon, Sunaryo Mamonto mengeluhkan proses perizinan mereka yang belum diproses. Menurutnya ada sekitar 70-an pemohon namun yang diperiksa baru sekitar 40 pemohon.

Menjawab masalah pengurusan yang dikeluhkan Sunaryo dari Tobongon, Roy Terok angkat bicara. Menurutnya, kebanyakan yang mengurus IPR tidak menindaklajuti dan mengawal permohonan sehingga tidak bisa ditindaklanjuti.
"Dari sekian yang masuk, tidak ada yang difollowup, sehingga tidak ada yang bisa dikonfirmasi untuk melengkapi berkas," jawabnya.

Ganitji Mamonto, Ketua Koperasi Perempuan Bulawan Tobongon bicara soal dampak dari tambang yang beroperasi di lingkungan masyarakat.
"Mungkin karena kami sering mengikuti sosialisasi tentang lingkungan di pertambangan sehingga kami sadar soal bahaya lingkungan," tutur Mamonto.

Ia berharap pemerintah memperhatikan kelakuan pengusaha tambang yang tidak memperhatikan lingkungan sekitar.

Nancy dari DLH Sulut, menjawab apa yang disampaikan Ganitji Mamonto. Menurutnya soal bahan berbahaya beracun akan ditindak. tidak memandang siapa. Pada prinsipnya dalam penegakan hukum akan dipandang sama.
Ditambahkannya, apa yang sementara dilakukan AGC bisa menjadi contoh untuk pengolahan emas ramah lingkungan.

"Salah satu solusi yang sementara digagas AGC menjadi percontohan buat semua," tuturnya.

Menurutnya ini bisa membuat masyarakat akan beralih dari pengguna merkuri dan sianida ke pengolahan emas yang ramah lingkungan.

Perwakilan Forum PESK Sulut, Matulandi Supit SH, turut bicara dari aspek hukum.
"Penegakan hukum dan kepentingan rakyat banyak harus diutamakan," ucapnya.

Supit mengatakan, aturan hukum memang sudah ada, namun mungkin terobosan yang harus dibuat. Itu harapan dari masyarakat.
"Masyarakat tidak mungkin akan menghancurkan lingkungannya dan masyarakat sadar akan hal itu," tegas Supit.

(**)
Share on Google Plus

Penulis: SulutSatu.com

0 komentar:

Posting Komentar