AGC dan AMAN Sulut Gelar Workshop Konvensi Minamata dan Persiapan Rencana Aksi Daerah

Kegiatan Workshop Yang digelar oleh AGC dan AMAN Sulut (Foto : Ist)

MANADO, SulutSatu.com, - Konvensi Minamata mulai efektif berlaku 16 Agustus 2017. Bahkan diratifikasi oleh 50 negara dengan perjanjian international terkini dengan bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari dampak terburuk oleh merkuri. Merkuri sendiri merupakan zat berbahaya dengan efek samping neurologis dan dampak kesehatan yang merugikan lainnya bagi manusia, hewan maupun lingkungan. Oleh karena itu dalam rangka menangani dan mencegah kerusakan lebih lanjut pada tatanan kehidupan, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Minamata pada 20 September 2017 melalui UU No 11 Tahun 2017 tentang Pengesahan Konvensi Minamata mengenai Merkuri.

Hal tersebut dikatakan, Direktur Pengelolaan Bahan Berbahaya Beracun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Yun Insiani pada workshop Konvensi Minamata dan Penyusunan Rencana Aksi Daerah dan Nasional. Workshop Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Dinas Lingkungan Hidup Propinsi Sulawesi Utara itu pun bekerjasama dengan Artisanal Gold Council (AGC) melalui Program Emas Rakyat Sejahtera dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kamis, (04/07/2019) di Hotel Four Points by Sheraton, Manado.

Menurut Yun insiani, tujuan dari Workshop ini untuk membangun pemahaman mumpuni tentang Konvensi Minamata hingga pelaksanaannya ditingkat nasional dan daerah. Selain itu, untuk meninjau lebih lanjut langkah-langkah yang perlu diambil dalam mempromosikan, membatasi, mengurangi dan menghilangkan penggunaan merkuri maupun emisinya

Bahkan konvensi tersebut mendorong pemerintah Indonesia melakukan pengurangan dan penghapusan (phase out) merkuri di empat sektor, yaitu pembangkit tenaga listrik, kosmetik, amalgam gigi, dan pertambangan emas skala kecil. Hal ini juga berkaitan erat dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No 21 Tahun 2019 Tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penggunaan Merkuri. Tentunya, hal itu bertujuan untuk mengurangi dan menghapuskan merkuri ditingkat nasional terpadu hingga berkelanjutan.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, diperkirakan 183.700 pekerja tambang yang bekerja di 131 hot spot pertambangan emas di Indonesia. Para penambang dan pengelolanya seringkali berasal dari pekerja pertanian maupun  perikanan. Mereka pun bekerja paruh waktu untuk mendapatkan penghasilan tambahan dalam rangka meningkatkan kehidupan keluarga. Sedangkan, bagi beberapa komunitas penduduk, kegiatan usaha ini menjadi mata pencaharian utama supaya menopang kehidupan sehari-hari mereka.

Lanjutnya, pada sektor pertambangan emas, khusunya di Indonesia; merkuri digunakan untuk memisahkan emas dari ore (bijih). Merkuri dan emas akan mengendap dan membentuk amalgam. Emas kemudian diekstraksi melalui penguapan merkuri. Walaupun merkuri adalah unsur alami tetap saja  dampak yang ditimbulkan sangat membahayakan jika tidak segera dihapuskan penggunaannya. Paparan terhadap merkuri secara terus menerus melalui sistem pernafasan akan berakibat terganggunya sistem saraf, pencernaan dan imunitas tubuh. Ketika dicerna, merkuri dapat terakumulasi dalam organisme hidup, dan menyebabkan kerusakan serius pada sistem saraf setelah mencapai level tertentu. Selain itu, kontaminasi terhadap lingkungan akan menyebabkan rusaknya mikro organisme lingkungan.

“Tentunya ini juga sebagai penghubung bagi pemerintah daerah dalam pelaksanaan Konvensi Minamata dan koordinasi terkait dengan Rencana Aksi Nasional dan Daerah. Agenda ini menjadi penting untuk dilakukan karena komitmen Indonesia dalam penghentian penggunaan merkuri diberbagai sektor pada tahun 2021 mendatang. Serta berbagai percepatan harus dilakukan dan dukungan dari berbagai sektor diperlukan,” katanya sebagaimana rilis yang diterima awak media.

Sementara itu, Country Project Manager dari AGC, Agni Pratama menjelaskan, AGC melalui Program Emas Rakyat Sejahtera berkomitmen untuk turut membantu Pemerintah Indonesia dalam upaya penghentian merkuri. Termasuk melalui peningkatkan tatanan kehidupan para penambang emas skala kecil yang berada di Sulawesi Utara melalui tiga pilar pendekatan.

“Pertama peningkatan praktik yang lebih baik, terkait teknis, penanganan lingkungan, kesehatan, jender sensitif dan praktik bisnis bagi para penambang emas. Kedua, membangun tatanan kebijakan yang mendukung kegiatan penambang emas skala kecil yang ramah lingkungan. Terakhir, membangun kerjasama dengan sektor swasta agar terjadi rantai pasokan emas asal pertambangan rakyat skala kecil yang ramah lingkungan,” ujarnya

Menurutnya, saat ini AGC bekerja di tiga wilayah Indonesia. Untuk Sulut memiliki dua tempat di kabupaten Minahasa Utara,  desa Tatelu dan Kabupaten Bolaang Mongondow Induk desa Tobongon. Sedangkan satunya di Kalimantan Tengah desa Parenggean.

“Semoga workshop terkait Konvensi Minamata ini dapat menghasilkan manfaat nyata untuk kita semua. Serta menjadi jembatan dan katalis untuk transfer pengetahuan dan teknologi.  Sehingga itu semua dapat menjadi titik tolak penghapusan merkuri dan menjadi solusi bagi permasalahan yang terjadi pada kegiatan pertambangan emas rakyat di Indonesia,” harapnya.

Sekedar informasi, Artisanal Gold Council (AGC) merupakan lembaga non-profit berbasis di Kanada. AGC melalui Program Emas Rakyat Sejahtera (PERS) berkomitmen untuk meningkatkan kondisi sosio-ekonomi dan lingkungan dari komunitas penambang emas skala kecil di Indonesia. Saat ini AGC bekerjasama dengan mitra strategis dari institusi pemerintah seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

(***/Jimmy)
Share on Google Plus

Penulis: SulutSatu.com

0 komentar:

Posting Komentar